Menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama:
wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. Kedua:
wanita tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena berhubungan badan dengan
orang lain.
Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan
pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum
menikahinya ada tiga pendapat.
Pertama: haram dinikahi. Ini merupakan pendapat mazhab
Maliki, Abu Yusuf dan Zafar dari mazhab Hanafi;1 termasuk Ibn Taimiyah dan
muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
Kedua: boleh dinikahi tanpa syarat. Ini merupakan pendapat
Abu Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanafi, dan mazhab Syafii.2
Ketiga: boleh dinikahi dengan syarat: (1) kehamilannya telah
berakhir atau habis masa ‘iddah-nya; (2) bertobat dengan tobatan nashuha. Ini
merupakan pendapat mazhab Hanbali.3
1. Dalil Kelompok Pertama:
Pertama: firman Allah SWT:
الزَّانِي
لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ
مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا
زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ
ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan
pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas
orang-orang Mukmin.” (QS an-Nur [24]: 3).
Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Mengenai keharaman
(menikahi) wanita perempuan yang berzina telah dibahas oleh para fuqaha’, baik
dari kalangan pengikut Imam Ahmad maupun yang lain. Dalam hal ini, terdapat
riwayat dari para generasi terdahulu. Sekalipun para fuqaha’
memperselisihkannya, bagi yang membolehkannya, tidak ada satu pun yang bisa
dijadikan pijakan.”
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata, “Hukum menikahi wanita
pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam surat
an-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang menikahinya, bisa jadi
sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat dengan hukum-Nya serta
mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak. Jika tidak terikat dan tidak
mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan mengimani kewajiban-Nya,
tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian Allah dengan tegas
menyatakan keharamannya: Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS
an-Nur [24]: 3).”
Kedua: Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
“Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan
(bayinya) (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim).”
Ketiga: riwayat Said bin al-Musayyib yang menyatakan
bahwa:pernah ada seorang pria menikahi wanita. Ketika dia menjumpai wanita itu
telah hamil maka dia mengadukannya kepada Nabi saw. Baginda pun menceraikan
keduanya.” 4
Keempat: sabda Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يُسْقِيَ
مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Tidaklah halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan
Hari Akhir untuk menumpahkan air maninya ke dalam tanaman (air mani) orang
lain.” (HR Abu Dawud).
Selain itu, kelompok ini berpendapat bahwa pernikahan itu
merupakan perkara suci. Di antara kesuciannya adalah agar kesucian tersebut
tidak dituangkan ke dalam ma’ saffah (air zina) sehingga bercampur yang halal
dengan haram. Dengan begitu, air kehinaan bercampur aduk dengan air kemuliaan.5
Mazhab Maliki juga beragumen dengan pendapat Ibn Mas’ud ra.
yang menyatakan,
“Jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, kemudian
setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah berzina selama-lamanya.” 6
2. Dalil Kelompok Kedua:
Pertama: Firman Allah SWT:
وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ
“Telah dihalalkan bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari
istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina.” (QS
an-Nisa’ [4]: 24).
Kedua: Hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan:
لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَلَ
“Perkara yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.”
Ketiga: Ijmak Sahabat. Telah diriwayatkan dari Abu Bakar,
Umar bin al-Khaththab, Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Jabir ra., bahwa Abu Bakar
berkata, “Jika seorang pria berzina dengan wanita, maka tidak haram bagi
dirinya untuk menikahinya.”
Demikian juga telah diriwayatkan dari ‘Umar, “Seorang pria
telah menikahi wanita. Wanita itu mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang
berbeda ayah. Anak laki-lakinya melakukan maksiat dengan anak perempuannya,
kemudian tampak hamil. Ketika ‘Umar datang ke Makkah, kasus itu disampaikan
kepadanya. ‘Umar pun menanyai keduanya, dan keduanya mengakui. ‘Umar mencambuk
keduanya dengan sanksi cambuk, lalu menawarkan keduanya untuk hidup bersama,
namun anak laki-laki tersebut menolaknya.” 7
3. Dalil Kelompok Ketiga.
Pertama: firman Allah SWT:
الزَّانِي
لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ
مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا
زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ
ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan
pezina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian
diharamkan atas orang-orang Mukmin.” (QS an-Nur [24]: 3).
Alasannya, keharaman menikahi wanita pezina di dalam ayat
tersebut berlaku bagi yang belum bertobat, namun setelah bertobat larangan
tersebut hilang. Sebabnya, ada Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
التَّائِبُ
مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ
لَه
“Orang yang bertobat dari dosa statusnya sama dengan orang
yang tidak mempunyai dosa.” (Dikeluarkan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya,
Al-Mughni).8
Kedua: Hadis penuturan Abi Said al-Khudri yang statusnya
marfu’. Dalam hadis tersebut dinyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
“Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan
(bayinya).” (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)
Dari ketiga pendapat di atas, menurut hemat kami, pendapat
yang paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hanbali, yang
menyatakan, bahwa hukum menikahi wanita hamil dibolehkan dengan syarat:
1. Kehamilannya telah berakhir, atau masa ‘iddah-nya habis.
2. Bertobat dengan tobat nashuha.
Adapun yang menikahinya, boleh saja pasangan zinanya, atau
bukan. Tentu setelah wanita tersebut bertobat, karena tobatnya telah
menghapuskan kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan catatan, jika tobatnya
dilakukan dengan tobat nashuha.
Sebab, pernikahan adalah ikatan suci yang membawa
konsekuensi:
Pertama, nasab. Orang yang menikahi wanita, kemudian dari
wanita itu lahir anak, maka pernikahan yang sah tersebut menjamin keabsahan
nasabnya.
Kedua, perwalian. Anak mempunyai hak perwalian, baik
terhadap harta maupun dirinya.
Ketiga, waris. Dengan adanya nasab, status hukum waris
menjadi jelas. Karena itu, syarat istibra’ (bersihnya rahim wanita) setelah
masa ‘iddah, merupakan kunci. Jika tidak, maka status janin yang ada di
dalamnya tidak akan diketahui. Dalam menangani masalahnya jangan pernah
beranjak pada tempat aborsi
karena sangatlah dosa
WalLahu a’lam